Dr. Herwin Mopangga (Tengah Berkacamata) Dalam Sebuah Acara Bersama Pejabat Keungan di Lingkungan Direktorat Jendral Perbendaharaan Gorontalo.

 

Coolturnesia – Gorontalo - Banjir dan tanah longsor yang memutus akses transportasi, rusaknya lahan pertanian dan hilangnya rumah serta harta benda, menjadi berita utama yang menghiasi media sosial hari-hari dan pekan terakhir ini. Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menampakkan bukti nyata kerugian sosial ekonomi bagi masyarakat Provinsi Gorontalo. Perubahan iklim (climate change) menunjukkan ciri-ciri yang bervariasi mulai dari anomali cuaca seperti hujan di musim kemarau atau panas terik di musim penghujan, suhu hangat di penghujung malam, dingin menusuk di awal pagi serta permukaan air laut yang cenderung meningkat.

Perubahan iklim dalam jangka pendek dan jangka menengah cukup mengganggu kinerja perekonomian. Berbagai bencana dan gangguan alam dapat secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas sektor ekonomi utama seperti pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan dan perikanan. Lebih lanjut, perubahan iklim ini dapat berdampak menaikkan tingkat harga barang-barang umum yang dikenal dengan inflasi, menekan daya beli masyarakat, berpotensi menaikkan angka kemiskinan, serta membengkaknya beban biaya sosial pemerintah (Bansos). Dalam jangka panjang juga berpotensi menurunkan daya tarik dan realisasi investasi serta menekan pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahwa perubahan iklim dan permasalahan lingkungan Provinsi Gorontalo sedikit banyak dipicu oleh: Pertama meningkatnya sedimentasi di wilayah Sungai dan Daerah Aliran Sungai Limboto, Bone Bolango dan Randangan serta Danau Limboto. Kedua, area hulu DAS Limboto Bone Bolango seluas 140.487 Ha atau lebih dari 57% dari total 245.000 Ha dalam status kritis dan sangat kritis. Ketiga, kurun waktu tahun 2013-2018 terjadi alih fungsi lahan hutan seluas 2.100 Ha di wilayah DAS Limboto dan Bone, menjadi kawasan permukiman, pertanian, semak belukar dan lainnya, serta Keempat pelanggaran terhadap konsep waterfront city dan sempadan sungai, dimana pembangunan fisik pemukiman dan tempat usaha di bibir sungai, danau dan laut telah meningkatkan intensitas dan kerawanan banjir. Padahal sekitar 57 persen penduduk Kota Gorontalo tinggal di kawasan rawan banjir.

Selanjutnya, faktor determinan perubahan iklim di Provinsi Gorontalo juga dipicu oleh beberapa hal: Pertama, laju pertumbuhan dan mobilitas penduduk tidak diragukan sebagai pemicu masalah ketidakseimbangan lingkungan. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Gorontalo mencapai 1,16 persen per tahun (BPS, 2023). Penduduk Gorontalo konsisten naik dari 1.171.681 jiwa di tahun 2020 menjadi 1.180.948 di 2021 kemudian 1.192.737 di 2022.

Kedua, peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk menyebabkan produksi sampah secara periodik. Data Dinas LHK Provinsi Gorontalo bahwa sepanjang tahun 2023 Kota Gorontalo menghasilkan sampah sebanyak 140 ton per hari, dimana hanya 70 ton terangkut dan sisanya tidak terkelola. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan trend sampah sungai, sampah pesisir dan sampah laut yang ikut meningkat. Berdasarkan sumbernya, sampah rumah tangga menempati posisi tertinggi mencapai 37,13 persen disusul sampah dari perkantoran, pasar tradisional, area perniagaan, serta fasilitas publik.

 

Sumber: DLHK Provinsi Gorontalo, 2024

Gambar 1. Persentase Komposisi Berdasarkan Sumber Sampah

 

Berdasarkan jenisnya, sampah plastik mencapai 35 persen diikuti sisa makanan, kayu ranting dan daun, kertas dan karton berikut logam, kain, karet dan kulit serta kaca.

 

 

0 Comments

Leave A Comment